INOVASI BAHAN AJAR ESP
UNTUK MAHASISWA SAINS FMIPA DI INDONESIA
Wesly Hutabarat
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Medan,
Jl. Willem Iskandar Psr. V Medan Estate, Medan Sumatera Utara
Abstract
Developing English for Special Purpose (ESP) for Science students in Universities today is a must, because of the development of global market that make it possible for foreign companies entering Indonesian market places. By the introduction of global marketing, and as a result of the internet technology developments, it makes everyone has an access for international market through internet facilities. As a result of this, Indonesian government has established international schools around the country in order to anticipate the effects of the internet development. However, most of the schools have no teachers that have capability to teach students in English, especially science teachers.
Sumber dan latar belakang masalah
Pengembangan bahan ajar English for Specific Purpose (ESP) untuk mahasiswa sains kependidikan dan non-kependidikan dewasa ini sangat dibutuhkan, karena mengingat kebutuhan pasar global yang memungkinkan masuknya perusahaan asing ke Indonesia.
Dengan terbukanya pasar global akibat perkembangan teknologi internet yang memungkinkan batas-batas suatu Negara menjadi maya dan setiap orang dapat mengakses pasar melalui internet. Globalisasi menyebabkan terjadinya persaingan yang semakin keras di semua lini, sehingga perguruan tinggi harus tanggap, sigap, tepat dan arif dalam mengantisipasinya. Menurut data World Competitiveness Yearbook (2004) bahwa kualitas SDM Indonesia berada pada taraf rendah dan mengalami penurunan. Pada tingkat regional SDM Indonesia berada pada urutan paling rendah dibanding dengan Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 16), Thailand (peringkat 29) dan Philipina (peringkat 52). Bila kita tidak dapat meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia maka kelak para lulusan perguruan tinggi Indonessia tidak akan mampu bersaing dalam dunia kerja. (Jalal, 2008) Dengan demikian perguruan tinggi harus dapat membekali lulusannya untuk memenuhi tuntutan kualifikasi dalam memasuki lapangan kerja yang kian kompetitif dan menglobal (Jalal, 2008). Untuk itu Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidkan Nasional telah menerbitkan Strategi Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 2003-2010 yang dikenal dengan Higher Education Long Term Strategy (HELTS) yang merupakan acuan untuk meningkatkan peran perguruan tinggi untuk memperkuat daya saing bangsa dalam persaingan global. Sejalan dengan itu Direktorat Akademik juga telah membuat program standar Kualitas Akademik meliputi Pengembangan Quality Assurance (QA) yang dimaksudkan untuk mengembangkan budaya mutu yang berkelanjutan (Continuous Quality Improvement) sekaligus akan mempercepat perguruan tinggi masuk dalam Universitas berkelas dunia atau World Class University (WCU). Sejalan dengan itu Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah memberikan fasilitas teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mendukung program pengembangan sector pendidikan tinggi di Indonesia misalnya memalui penggunaan Sistem informasi nasional (SINAS), dan Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED). Dengan mengembangklan system dan aplikasi teknologi informasi dan komunikasi tersebut maka Ditjen Dikti pada tahun 2006 telah membangun Jejaring Perguruan Tinggi Nasional (Indonesian Higher Education Network yang telah menghubungkan 82 perguruan Tinggi Negeri dan 133 Perguruan Tinggi Swasta. Sesuai dengan itu maka salah satu tujuan dikembangkannya Inherent adalah untuk kegiatan akademik, dan peningkatan konten pembelajaran dan perguruan tinggi diharapkan dapat memanfaatkan jejaring ini untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan. Oleh karena itu dirasakan pentingnya mengembangkan kurikulum ESP bidang sains dengan menggunakan Modul dan program Computer Assisted Instruction (CAI) interaktif..
Permasalahan
Dengan didirikannya sekolah-sekolah Internasioanl (64 sekolah Internasional) di seluruh Indonesia terutama sekolah-sekolah yang dikelola swasta menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk mengantissipasi era globalisasi teknologi pendidikan. Akan tetapi sampai saat ini perguruan tinggi negeri masih menunggu untuk mengembangkan diri dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas internasional.. Di Sumatera Utara khususnya. Pendirian sekolah-sekolah Internasional di Medan dan Tebing-Tinggi telah banyak dilakukan baik pada tingkat sekolah-sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun di Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) Swasta dan Negeri.
Untuk mendukung program ini pemerintah melalui Dirjen Dikti telah mencanangkan pembukaan Perintisan Perguruan Tinggi Bertaraf Internasional, namun masih dalam taraf pengembangan melalui kerjasama dengan perguruan tinggi asing. Dengan direalisasikannya liberarisasi ASEAN 2010, ASIA FASIFIK 2015 dan WTO 2025 mengharuskan perguruan tinggi Indonesia memperbaiki kualitas kerjanya sehingga lulusannya setara dengan lulusan perguruan tinggi internasional, agar dapat memenuhi permintaan dunia kerja baik dalam mengisi tenaga pendidik di sekolah-sekolah internasional maupun di perusahaan-perusahaan asing (Jalal, 2007).
Untuk menunjang program pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan nasional maka kebutuhan inovasi kurikulum English for Specific Purpose untuk mahasiswa sains perlu secepatnya dikembangkan agar para lulusan dapat bersaing dalam memasuki dunia kerja.
Dengan masuknya perusahaan-perusaaan asing dan dibukanya perusahaan digital di Indonesia serta dibukanya sekolah-sekolah internasional di Indonesia maka dirasakan sangat perlu memberikan bekal ESP yang sesuai kebutuhan dumia kerja kepada mahasiswa sains.
Pengembangan bahan ajar ESP perlu dilakukan untuk menunjang dan menciptakan lulusan berkualitas dan mampu bersaing dalam dunia kerja yang membutuhkan tenaga kerja terampil berbahasa Inggris secara aktif sesuai dengan kebutuhan dunia kerja masa kini.
Dewasa ini Indonesia telah mengembangkan sekolah-sekolah Internasional di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Batam, Kalimantan, dan Medan sebanyak 64 sekolah. Sekolah-sekolah internasional ini pada umumnya menggunakan silabus internasional dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa inggris dan para siswanya tidak diharuskan mengikuti ujian nasional bila mereka telah lulus ujian internasional yang diselengarakan dengan materi berbahasa inggris. Pada umumnya peserta didik setelah tamat sekolah dapat melanjutkan ke perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Disamping itu masih banyak lagi sekolah bertaraf Internasional berdiri di Indonesia, dimana sekolah itu menyajikan beberapa bahan ajar dalam bahasa inggris terutama materi pelajaran sains.. Oleh karena itu sudah perlu dikembangkan bahan ajar ESP yang layak bagi mahasiswa sains agar para lulusan dapat menjadi lulusan yang siap pakai dalam dunia kerja. Bahan ajar ESP harus dikembangkan berbasis kebutuhan mahasiswa dan dunia kerja untuk meningkatkan motivasi belajar dan partisipasi belajar peserta didik menggunakannya di kampus dan di luar kampus.
Penelitian yang dilakukan Hutabarat, W (tahun akademik 2007/2008) tentang inovasi materi bahan ajar Bahasa Inggris Kimia dengan menggunakan Modul Academic Writing dan Vocabulary Building ESP menunjukkan bahwa mahasiswa kimia lebih tertarik untuk mempelajari bahan ajar ESP dibanding pendekatan konvesional. Oleh karena itu inovasi Modul ESP dengan Computer Assisted Instruction (CAI) akan dapat meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
Mengapa ESP Sangat Dibutuhkan
Dengan persebaran bahasa inggris secara global telah menyebabkan beragamnya bahasa inggris dalam konteks sosiolingustik dan sosiokultural. Perkembangan ragam bahasa inggris dalam berbagai setting telah menimbulkan isu apakah mengadopsi satu standart bahasa inggris tunggal untuk semua konteks bahasa inggris sabagai bahasa internasional, pada saat yang sama bahasa inggris standart (bahasa inggirs Amerika, Britain, Canada dan Australia) dibuat sebagai model dalam pengembangan sirkit bahasa tersebut (Acar, A (2007). Ada tiga alasan mengapa ESP diperlukan yaitu: kebutuhan dunia baru, revolusi linguistik dan pemusatan pada siswa (Hutchinson & Waters, 1987). Menurut Hutchinson dan Waters (1987); Nodoushan (2007) bahwa periode timbulnya ESP pertama terjadi pada paska perang dunia kedua yang menimbulkan perkembangan sains, teknologi dan kegiatan ekonomi berskala internasional terutama karena kekuatan ekonomi Amerika Serikat paska perang dunia kedua, sehingga peran bahasa internasional dirasakan perlu dikuasai yaitu bahasa inggris. Kemudian krisis minyak pada awal tahun 1970 menyebabkan uang dan pengetahuan dunia barat mengalir ke negara kaya minyak dan bahasa yang tepat digunakan untuk pengetahuan ini adalah bahasa inggris. Akibat dari perkembangan ini pengajaran bahasa Inggris ditekankan pada materi pengantar dan penerimaan barang. Sehingga bahasa inggris menjadi suatu kebutuhan dan permintaan orang-orang diluar dari pada guru-guru bahasa inggris (Hutchinson & Waters, 1987,p.7). Setelah bahasa inggris diterima menjadi bahasa internasional, terjadi generasi baru, dimana mahasiswa mengetahui secara khusus mengapa mereka mempelajarinya; keterbatasan waktu dan uang menyebabkan perlunya bahan ajar efektif dengan tujuan yang jelas. Pada saat yang sama, penelitian liguistik mulai menjauhkan perhatiannya dari pengajaran tradisional struktur bahasa ke usaha mencari cara-cara dimana sebenarnya bahasa itu digunakan di dalam komunikasi riel (Widdowson, 1978).
Pada tahun 1960’an dan awal 1970’an terdapat banyak usaha untuk membuat bahasa inggris untuk sains dan teknologi (English For Science and Technology, EST). Jadi kebutuhan mahasiswa menjadi kunci utama dalam merencanakan materi khusus untuk memenuhi kebutuhan individu dalam dunia nyata sehingga ESP perlu dikembangkan. Beberapa ahli linguistik mulai mendukung pendapat bahwa bahasa inggris diperlukan oleh sekompok pelajar tertentu dapat diindentifikai dengan menganalisa karateristik linguistik dari bidang kerja mereka (Hutchinson and Waters, 1987). Pendapat ini selanjutnya didukung oleh perkembangan psikologi pendidikan yang baru yang menempatkan peran pusat kepada peserta didik dan sikap terhadap pembelajaran (Rogers, 1969). Peserta didik mempunyai kebutuhan dan keinginan yang berbeda, yang dapat mempengaruhi terhadap motivasi belajarnya, dan juga terhadap efektivitas belajarnya. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka lahirlah ESP. Materi ESP di desain untuk mempersiapkan peserta didik atau pekerja dewasa dengan pengetahuan bahasa inggris dalam bidang khusus, bidang kerja, atau profesi untuk mencapai tujuan khusus (Nodoushan, 2007).
Dengan perkembangan perdagangan dan ekonomi global dan perkembangan komunikasi internasional dalam berbagai bidang, maka kebutuhan untuk ESP semakin berkembang, terutama di negara-negara dimana bahasa inggris diajarkan sebagai bahasa asing. (Jiajing, 2007;1) Dengan berkembangnya Communicative Language Teaching, menjadi kunci pengembangan ESP.
Untuk mengantisipasi pemintaan dunia kerja, maka Indonesia telah mengembangkan sekolah-sekolah internasional di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Bali, Batam, Kalimantan, dan Medan sebanyak 64 sekolah. Sekolah-sekolah internasional ini pada umumnya menggunakan silabus internasional dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa inggris dan para siswanya tidak diharuskan mengikuti ujian nasional bila mereka telah lulus ujian internasional yang diselengarakan secara internasional dengan materi berbahasa inggris. Pada umumnya peserta didik setelah tamat sekolah dapat melanjutkan ke perguruan tinggi di luar negeri dan perguruan tinggi negeri. Disamping itu masih banyak lagi sekolah-sekolah yang bertaraf internasional dimana sekolah itu memberi beberapa bahan ajar dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu sudah perlu dikembangkan bahan ajar ESP yang layak bagi mahasiswa sains agar para lulusan dapat menjadi lulusan yang siap pakai dalam dunia kerja
Inovasi Model pembelajarn ESP
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui strategi mengajar apa yang sesuai dalam mengajarkan ESP kepada mahasiswa. Fan (2003) melakukan survei terhadap 1067 sampel mahasiswa dari tujuh institut di Hongkong untuk menguji hubungan frekuensi penggunaan, dan kegunaan strategi belajar kosa-kata ESP. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa mahasiswa yang menggunakan strategi mereviu literatur dan mengkonsolidasikan pengetahuannya dengan kata-kata yang diketahuinya merupakan strategi yang berguna dan mereka lebih menyukai pendekatan penggunaan kamus. Mahasiswa yang lebih fasih kebanyakan tergantung pada materi sumber, tebakan, kamus dan strategi kata-kata yang diketahui daripada mahasiswa yang kurang fasih. Schmit( 1977) melakukan penelitian dalam skala besar di Jepang untuk menentukan strategi belajar kosa-kata yang mana yang sebenarnya digunakan mahasiswa dan sampai sejauh mana menolong mereka. Schmitt (1977) menemukan bahwa mahasiswa yang menggunakan lebih banyak strategi kosa-kata dan pengulangan lebih baik dibanding dengan strategi yang lain. Diketahui bahwa mahasiswa yang lebih fasih cenderung menggunakan strategi yang lebih kompleks dan pemusatan pengertian dibanding mahasiswa yang kurang fasih. Penelitian lain juga telah dilakukan untuk mengetahui efektifitas penggunaan strategi tertentu untuk mempelajari terminologi kedokteran (Fang, 1985; Trout, 1987;Dunkie, 1983).
Fang (1985) meneliti keberhasilan dua strategi belajar terminologi kedokteran: 1). analisa affiks dan akar-kata (roots) dan 2). mencari hubungan antara suara dan tulisan (script). Dalam strategi ini mahasiswa dilibatkan untuk melakukan analisa struktur kata. Misalnya, untuk mempelajari terminologi ’endocarditis”, bagian dalam hati yang terbakar, mahasiswa harus belajar menganalisis kata itu ke dalam endo- (prefiks, di dalam), card (root, jantung), dan –itis (suffiks, terbakar). Dengan kata lain, strategi mencari hubungan antara suara dan tulisan melibatkan usaha untuk mencari hubunngan anatara ucapan dan spelling dari kata-kata medis. Penelitian Fang membuktikan bahwa pengunaan analisa afiks dan roots meningkatkan pembelajaran terminologi dibanding dengan metode mencari hubungan antara suara dan tulisan (script).
Selanjutnya Yang (2005) melakukan penelitian tentang pembelajaran terminologi keperawatan di Taiwan. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui penggunaan strategi belajar berkenaan dengan penggunaan kosa-kata kedokteran. Yang (2005) meneliti 89 orang perawat di institut Taiwan. Yang menemukan bahwa pada umumnya mahasiswa lebih menyukai menggunakan strategi penulisan-ulang, pengulangan verbal, dan kamus-bilingual. Selanjutnya mahasiswa yang lebih fasih lebih sering menggunakan beragam strategi dibanding mahasiswa yang kurang fasih. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengmbangkan ESP. Kavaliauskiene, (2007) meneliti tentang hubungan menulis dan membaca dalam ESP. Dia menemukan bahwa kesulitan siswa dalam menulis dan membaca disebabkan kurangnya penguasaan kosa kata, kurangnya pengetahuan struktur kalimat, tensis dan organisasi tekstual. Penelitian tentang hubungan membaca-menulis dalam bahasa ibu menunjukkan adanya hubungan yang relevan demikian juga dengan hubungan kemampuan menulis dan membaca, antara kualitas menulis dan pengalaman membaca, antara kemampuan membaca dan kemapanan tulisan (Carson, 1994: 89). Menurut Stotsky (1983:630) membaca dan menulis saling berinteraksi dan saling tergantung satu sama lain.
Penelitian tentang ESP yang dilakukan Nation (2003:1) menunjukkan bahwa adanya kecenderungan siswa menggunakan bahasa lokal atau bahasa nasional karena lebih alamiah menggunakan bahasa lokal dengan siswa yang lainnya yang mempunyai bahasa yang sama. Kedua karena lebih mudah dan lebih komunikatif dan efektif menggunakan bahasa lokal, dan yang terakhir karena menggunakan bahasa asing (inggris) dapat merasa malu khususnya untuk siswa pemalu dan bagi siswa yang merasa tidak percaya diri mengunakan bahasa kedua (Nation, 2003;2).Belajar melalui membaca dan mendengarkan (listening and reading) dapat memberikan peningkatan kognitif siswa. Dalam hal ini siswa bukan hanya diminta untuk memusatkan pada mengatakan sesuatu atau apa yang akan dikatakan, mereka juga harus memusatkan pada bagaimana mengatakannya atau bagaimana hal itu dikatakan.
Lameta-Tufuga (1994) meneliti tentang pengaruh pemberian tugas diskusi dalam bahasa lokal sebelum mereka menulisnya dalam bahasa kedua (inggris) Sehingga mereka punya kesempatan untuk memahami isi dari tugas itu dalam bahasa mereka sendiri, sebelum menuliskannya ke dalam bahasa inggris. Dengan demikian mereka tertarik untuk mendiskusikan tugas-tugas itu dalam bahasa lokal. Dan mereka terlibat secara aktif mengerjakan tugas itu. Diskusi dalam bahasa lokal melibatkan berbagai kosa kata dalam bahasa kedua (ingris) yang dapat digunakan dalam tugas berikutnya. Jadi diskusi tidak hanya membantu siswa memahami isi materi bahan ajar tapi juga membantu siswa mengatasi kosa-kata dengan bantuan bahasa lokal. Knight (1996) juga mendapatkan hasil yang sama. Dimana siswa yang melakukan diskusi dalam bahasa lokal dalam kelompok akan melakukan hal yang lebih baik dalam menulis di dalam bahasa kedua (inggris) daripada siswa yang melakukan diskusi dalam bahasa kedua (inggris). Jadi terdapat peran yang baik dari penggunaan bahasa lokal bagi siswa mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tingkat pemahaman bahasa kedua yang lebih tinggi.
Maleki dan Zangani (2007) juga menemukan bahwa masalah yang paling besar yang dihadapi mahasiswa EFL di universitas Iran adalah ketidakmampuannya berkomunikasi dan menggunakan bahasa inggris setelah lulus dari perguruan tingi. Hal ini mungkin disebabkan lemahnya pengajaran bahasa inggris umum (General English), yang dapat mempengaruhi keberhasilan nilai akademiknya. Maleki dan Zangani (2007) menemukan bahwa pemahaman bahasa inggirs berhubungan secara signifikan dengan nilai akademik rata-rata mahasiswa. Juga ditemukan bahwa terdapat hubungna yang signifikan antara pemahaman bahasa inggris dengan kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa inggris.
Penelitan yang dilakukan oleh Musyaridun dan Rahayu (2002) menyatakan bahwa ESP sebaiknya disusun berdasarkan kebutuhan mahasiswa dan bukan berdasarkan keinginan dosen. Sibuea (2000) dan Sibuea dan Mulyana (2002) melakukan penelitian yang berbeda tentang ESP, menyatakan bahwa penggunaan bahan ajar yang diorganisasikan secara spesifik dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa secara signifikan. Dengan demikian strategi pelaksanaan bahan ajar lebih efektif dan efisien. Pembelajaran yang direncanakan secara khusus berdasarkan kebutuhan dunia kerja akan lebih bermanfaat kepada para lulusan sehingga mereka dapat menggunakannya dalam kehidupan lapangan kerja.
Pengajaran ESP dengan Media Komputer
Jarvis (2005) menekankan bahwa perkembangan teknologi telah mempengaruhi perkembangan dalam pengajaran bahasa inggris. Pengertian bahasa inggris sebagai bahasa kedua (English as a second Language, ESL) dan bahasa inggirs sebagai bahasa Asing (English as a Foreign Language, EFL) telah berubah menjadi bahasa inggris sebagai bahasa internasional (English as an International Language, EIL) karena pertumbuhan teknonologi internet yang cepat di seluruh dunia, terutama mengakibatkan banyaknya penggunaan bahasa inggris di internet yaitu 80% informasi yang terdapat di internet ditulis dalam bahsa inggris (Graddol, 2000). Dengan penggunaan komputer sebagai perantara komunikasi (Computer Mediated Communication, CMC), internet telah menyebabkan pesatnya penggunaan bahasa ingris baik dalam hubungan bisnis dan pendidikan.. Pengguna komputer non-native speaker lebih banyak dibanding dengan native-speaker yakni jumlah penduduk dunia di dominasi non-native speaker, misalnya, India, China, Jepang, Pakistan, Korea, Indnesia, Malaysia, Singapura, Philipina dan negara-negara Afrika yang pada umumnya sudah dapat mengakses internet. Penggunaan pendekatan mengajar seperti penerjemahan grammar dan audiolingualism telah bergerak ke arah Communicative Language Teaching (CLT) sehingga dapat mengukur kempetensi komunikatif mahasiswa (Hyme, 1972) yang didefinisikan sebagai kemampuan mahasiswa untuk menyatakan secara efektif apa yang mereka maksudkan di bahasa target dan berhasil berkomunikasi dalam situasi kehidupan nyata (Lightbown & Spada, 1999, Power, 2003). Untuk mencapai hal ini maka mahasiswa tidak hanya dituntut untuk memahami liguistik tetapi pengetahuan pragmatik dari pengajaran bahasa (Hedgcok, 2002). Dianjurkan agar kedua kopetensi linguistik dan pragmatik diccapai melalui penggunaan langsung di lapangan (Kasper, 1977).
Dalam pengajaran EFL tradisional mahasiswa pada umumnya tidak punya kesempatan yang cukup untuk masuk ke dalam proses belajar di luar kelas dan mempraktekkan apa yang mereka pelajari di dalam kelas. Peserta didik pada umumnya kembali ke dunia nyata dan menggunakan bahasa ibunya kembali segera setelah keluar dari kelas (Campbell, 2004). Dalam kegiatan interaksi tatap muka linier, mahasiswa diberi kesempatan berbicara kepada guru atau sesama mahasiswa, tetapi bila seorang mahasiswa berbicara, yang lain harus diam dan menunggu sampai pembicaraan selesai. Faktor kepribadian yang berbeda, kemauan menjawab dan belajar, motivasi, dan pemahaman bahasa dapat meningkatkan kesenjangan individu untuk berbicara di dalam kelas atau di dalam kelompok. Misalnya, mahasiswa yang pemalu, lamban, atau takut salah mungkin akan memilih berbicara sedikit di dalam kelas atau di dalam diskusi kelompok (Chen, 2005). Pada hal bahasa digunakan untuk mengekspresikan apa yang kita maksudkan dalam kehidupan nyata (Lightbown & Sapada, 1999), tetapi bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, bahasa juga menyatakan latar belakang budaya dan sosial, sehingga mahasiswa harus memahami kompetensi pragmatik bahasa target, kemampuan memasukkan pemngetahuan budaya ke dalam penggunaan bahasa dan memilih bahasa yang sesuai dalam berbagai konteks sosiokultural (Bachman, 1990, Hymes, 1972, Kasper, 1997). Tidak seperti pendekatan pengajaran traditional yang memusatkan pada pemahaman grammar, pendekatan CLT menekankan kemampuan mahasiswa menggunakan secara efisien bahasa target dalam konteks yang berbeda (Lightbown & Spada, 1999). Dengan mengelompokkan mahasiswa berpasangan dan melibatkan mereka dalam tugas diskusi intersaktif, guru mengharapkan dapat meningkatkan kemampuan mahasiwa untuk mencapai tujuan komunikatif, ketimbang membentuk kalimat grammatik..
Selanjutnya Chen, 2005 meneliti penggunaan integrasi pendekatan pengajaran bahasa dengan menggunakan komputer atau Computer Language Teaching (CLT) approach ke dalam pengajaran EFL sehingga dapat meningkatkan pemahaman, motivasi, otonomi dan identitas persamaan sosial, keterlibatan dalam penggunaan bahasa target yang dibutuhkan mahasiswa agar dapat meningkatkan kompetensi linguistik dan pragmatik. Dengan membawa CMC ke dalam proses belajar dan mengajar, pola interaksi dapat dirubah. Dengan pendekatan CTL guru dapat meningkatkan interaksi mahasiswa dengan menggunakan CMC di dalam dan di luar kelas (Blake, 2000, Blin, 1999, Leh, 1999, Wasrchaurer, 1977). Belajar bukan lagi terbatas pada waktu dan ruang, agaknya melalui internet, mahasiswa diberikan kesempatan berkomunikai dan belajar secara kerjasama dengan mahasiswa lain diseluruh dunia (Kem, 1996, Shield & Weininger, 2004). Mahasiswa EFL tidak lagi secara pasif mendengarkan ke pita suara saja di luar kelas; tapi melalui penggunaan internet dan perangkat CMC, mereka dapat dengan mudah berpartisipasi dalam interaksi yang lebih dengan mengirimkan dan menjawab berita-berita pada papan diskusi, menulis dan menjawab e-mails ke papan ketik, atau pada ruang penghubung langsung setiap waktu bila mereka merasa aman atau mempunyai waktu luang. Belajar menjadi proses 24 jam. Cara belajar yang baru ini melibatkan mahasiswa dalam interaksi sosial yang otentik yang dapat membuka mahasiswa ke dalam informasi teknologi dan mempraktekkan apa yang mereka telah pelajari di kelas (Blake, 2000, Campbell, 2004, Leh, 1999, Lightbown & Spada, 1999).
Strategi Mengembangkan ESP
Menurut Gatehouse (2001) bahwa dalam mengembangkan kurikulum ESP perlu dipertimbangkan tiga kemampuan yaitu kemampuan menggunakan terminologi tertentu dalam konteks spesifik; kemampuan menggunakan terminologi keahlian akademik; dan kemampuan menggunakan bahasa informal sehari-hari untuk berkomunikasi secara efektif. Oleh karena itu ESP harus di desain agar ketiga kemampuan di atas terintegrasi ke dalam komponen materi ESP.
Gu dan Johnson (1996) meneliti strategi apa yang dibutuhkan dalam mempelajari kosa-kata bahasa inggris mahasiswa Cina di Cina daratan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemauan belajar sendiri, perhatian selektif, menebak konteks, keahlian menggunakan kamus, mencatat, memperhatian pembentukan kata, pencacahan konteks, dan aktivasi kata-kata baru berhubungan erat dengan hasil belajar mahasiswa. ESL. Untuk memahami arti dari sebuah kata dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya melalui definisi di dalam bahasa kedua, demonstrasi, gambar atau diagram, obyek riel, konteks bahasa kedua, atau terjemahan ke dalam bahasa pertama (lokal). Dalam hal ketelitian memberikan arti, tak satupun dari cara di atas secara instrinsik lebih baik dari pada yang lain. Semua tergantung pada kata tertentu. Lado, Baldwin and Labo (1967); Mishima.(1967); Laufer dan Samuel (1997) telah menemukan bahwa keefektifan suatu metode belajar menunjukan bahwa terjemahan bahasa pertama (lokal) merupakan suatu metode yang efektif. Hal ini mungkin disebabkan kualitas terjemahan bahasa pertama biasanya jelas, singkat, dan mudah dipahami (McKeown, 1993). Akan tetapi Nation (2001:296-316) mengatakan bahwa bila penggunaan terjemahan dari bahasa pertama digabung dengan penggunaan kartu kata untuk belajar kosa-kata, maka siswa akan lebih efektif untuk mempercepat pertumbuhan kosa-katanya. Jadi pengguanan kartu-kata dengan terjemahan dalam bahasa pertama digabung dengan kosa-kata bahasa kedua secara langsung merupakan suatu metode belajar yang efektif dalam ESP.
Meningkatnya peminjaman atau adopsi kata-kata dari bahasa inggris ke dalam bahasa pertama (nasional) misalnya dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan kosa-kata siswa (Daulton (1998) Misalnya, kata kombinasi berasal dari bahasa inggris combination, aparatur berasal dari kata apparatus, metode berasal dari kata method, strategi berasal dari kata strategy, sistim berasal dari kata system, kurikulum berasal dari kata curriculum, dan banyak kata lainnya yang diadopsi dari bahasa inggris ke dalam bahasa indonesia. Dan pada umumnya kata-kata bahasa inggris yng diadopsi ke dalam bahasa indonesia sangat mudah dikenal dengan melihat akar katanya dan perubahan bentuk penulisannya kedalam bahasa indonesia. Dengan menggiatkan siswa mengenal kata-kata indonesia yang diadopsi dari bahasa inggris akan membantu siswa mengembangkan kosa-katanya lebih cepat.
Mengembangkan percepatan pemahaman siswa melibatkan item-item yang telah terlebih dahulu dikenal oleh siswa sebelumnya, perlu melibatkan terutama isi materi yang lebih dikenal, dan perlu melibatkan sejenis penguatan untuk melakukannya lebih cepat dari yang biasa. Penguatan ini dapat dilakukan dengan memberikan tekanan seperti dalam membaca cepat (speed reading) atau kegiatan lain. Hal ini dapat dilakukan dengan membantu siswa mengingat kembali informasi dan cerita dalam bahasa pertama kemudian mengerjakannya di dalam bahasa kedua, atau mengajak siswa bekerja dalam bahasa pertama dan hasilnya akan memberikan siswa lebih mengenal bahasa kedua, misalnya dengan artikel dalam koran, berita televisi, teks berita fakta singkat, yang digunakan sebagai dasar untuk tugas-tugas bahasa kedua. (Nation,:2003;4)
Untuk kelas yang siswanya mempunyai bahasa pertama yang sama atau bahasa nasional sama, guru perlu menggunakan berbagai pilihan untuk memotivasi siswa menggunakan bahasa kedua sebanyak mungkin (Nation 1997). Pilihan ini dilakukan berdasarkan pemikiran kenapa siswa menggunakan bahasa pertama bilamana mereka seharusnya menggunakan bahasa kedua. Hal ini mungkin disebabkan karena pemahaman siswa rendah dalam bahasa kedua, kebiasaan menggunakan bahasa kedua untuk mengerjakan tugas, merasa malu menggunakan bahasa kedua, atau hanya karena kurang tertarik mempelajari bahasa kedua.
Policy alternatives
Universitas dan pemerintah harus segera mengambil tindakan yang cepat guna mengantisipasi bersarnya kebutuhan masyarakat akan guru-guru yang terampil berbahsa inggris baik di tingkat SLTP dan SLTA dan sekolah kejuruan diseluruh Indonesia. Dewasa ini ternyata Unimed telah mengambil satu langkah maju dengan membuka jurusan sains bilingual tahun akademik 2008/2009. Namun dari pengamatan dilapangan ternyata, para mahasiswa hanya menggunakan model ESP berorientasi dosen (teacher-oriented), sehingga mahasiswa masih kurang mampu untuk meningkatkan kemampuan bahasa inggrisnya sesuai dengan yang diharapkan. Umpamanya mahasiswa biologi, matematika, dan fisika menerima matakuliah ESP dari tim dosen sains yang terdiri dari dosen biologi, matematika, dan biologi yang mampu berbahasa inggris dengan baik digabung dengan tim dosen dari jurusan sastra inggris, tetapi mahasiswa kimia hanya mendapatkan dosen dari jurusan bahasa inggris saja, tanpa ada tim dosen dari jurusan kimia. Hal ini dirasakan oleh mahasiswa jurusan kimia sebagai perlakuan diskriminatif dan tim dosen sastra ingris yang memberikan kuliah ESP adalah asisten dosen muda yang baru saja satu tahun diangkat menjadi asisten dosen di jurusan sastra inggris Unimed. Relevansi kemampuan akademik dosen ESP sangat diperlukan guna meningkatkan minat mahasiwa dalam mempelajari materi ESP. Oleh karena itu Universitas harus benar-benar mempertimbangkandan memperhatikan kebutuhan mahaisiswa, dan lapangan kerja. Relevansi keahlian berbahasa inggris yang baik sesuai dengan bidang keahliannya sangat dibutuhkan guna menunjang kebutuhan dunia kerja. Ada empat alternaif yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan bahan ajar ESP sains secara nasional:
Alternatif pertama.
Mengembangkan bahan ajar ESP berdasarkan kebutuhan dosen (teacher oriented) dan kebutuhan mahasiswa (student oriented Pengajaran bahan ESP berdasarkan kebutuhan dosen dan mahasiswa akan dapat meningkatkan motivasi belajar mahasiswa dalam mempelajari ESP sesuai dengan yang diharapkan dunia kerja.
Alternatif kedua
Mengembangkan bahan ajar ESP berdasarkan kebutuhan mahasiswa (student oriented) dan kebutuhan pasar dengan menggunakan bahan ajar modul academic writing dan vocabulary building. Dengan adanya modul bahan ajar ESP mahasiswa diharapkan akan lebih termotivasi belajar bahasa inggris ketimbang hanya menggunakan buku bahan ajar bahasa inggris umum (general inglish books). Dengan kemampuan academic writing mahasiswa diharapkan dapat membuat laporan tertulis dalam bahasa inggris, terutama dalam membuat laporan hasil kerja laboratorium dan laporan hasil kerja lapangan.
Alternatif ketiga
Mengembangkan bahan ajar ESP berdasarkan kebutuhan mahasiswa, dan kebutuhan pasar dengan menggunakan bahan ajar Academic writing, dan Vocabulary building, dengan menggunakan bantuan komputer interaktif. Jadi tugas-tugas bahan ajar ESP dibuat dalam bentuk tugas interaktif dengan menggunakan komputer (Computer interactive Instruction, atau CAI). Dengan demikian mahasiswa diharapkan akan lebih termotivasi dan lebih aktif dalam mempelajari bahasa inggris, sehingga para lulusan mempunyai kemampuan berbahasa inggris yang baik, sesuai dengan kebutuhan pasar.
Alternatif ke-empat
Mengembangkan bahan ajar ESP berdasarkan kebutuhan mahasiswa (student oriented) dan kebutuhan stakeholder (dunia kerja), dengan menggunakan modul Acadenic writng, vocabulary building, berbasis web. Dengan fasilitas jejaring web yang telah tersedia di seluruh universitas negeri di Indonesia, memungkinkan untuk mengembangkan ESP berbsis web, sehingga seluruh nahasiswa dapat mengakses materi bahan ajar ESP diseluuh universitas di Indonesia. Dengan demikian mahasiswa akan lebih terlatih menguasai penggunaan internet, baik dalam meng-upload jawaban dan mendown load materi bahan ajar ESP yang diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Acar, A (2007). Standards and Competence in English as an International Language Pedagogy, Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum 9, (4), 2
2. Bachman, L. (1990). Fundamental considerations in language testing. Oxford: Oxford University Press. .
3. Blake, R. (2000). Computer Mediated Communication: A Window on L2 Spanish Interlanguage. Language Learning and Technology 4, (1):120-136
4. Blin, F.(1999). CALL and the Development of Learner Autonomy. In R. Debski & M. Levy (Eds.). World CALL: Global Perspectives on Computer-Assisted Language Learning. The Netherlands:Swets & Zeitlinger Publishers.
5. Campbell, A.P. (2004). Using LiveJournal for Authentic Communication in EFL Classes. The Internet TESL Journal. 10, (9) http://iteslj.org/Techniques/Campbell-LiveJournal/
6. Carson, J. E. 1994. Reading-Writing Connections: Toward a Description for Second Language Learners. In ‘Second Language Writing’. Edited by Barbara Kroll. CUP. pp. 88-107.
7. Chen, H. Y., (2005) Computer Mediated Communication: The Use of CMC to Develop EFL Learners’ Communicatiive Competence, Asian Bussiness Journal 7, (1),10
8. Disgayasa dan Husein, 2002., Upaya Meningkatkan Kemampuan TataBahasa Inggris Mahasiswa Melalui Pola LAK. Laporan Penelitian
9. Daulton, F.E. 1998. Japanese loanword cognates and the acquisition of English vocabulary. The Language Teacher 22, 1: 17-25.
10. Dudly-Evans, T,. & St. John, M. (1998) Developments in ESP: A multi-diciplinary approach . Cambridge: Cambridge University Press.
11. Dudley-Evans, T. (1998) An Overview of ESP in the 1990’s. Paper Presented at The Japan Conference on English for Specifis Purposes, Fukushima.
12. Dunkle, S. (1983). dalam. Ming-Nuan Yang.,. (2005) Nursing Pre-professionals’ Medical Terminology Learning Strategies.,The Asian ESP Journal 1, (2)
13. Fan (2003). Frequency of Use, Perceived Usefulness,and Actual Usefulness of Second Language Vocabulary Strategies: A Study of Hong Kong Learners, The Modern Language Journal, 87 (2), 222-241
14. Fang, F.S. (1985). The Investigation and Evaluation of the Teaching Methods on Medical Terminology, Paper presented at the Second National Conference on TESOL, Taipei, Taiwan, R.O.C
15. Hedgcock, J.S., (2002) Facilitating Access to Communities of Practice in Language Teaching: Toward a Socioliterate Approach to Teacher Education. The Modern Language Journal 86, (3) http://polyglot.lss.wisc.edu/mlj/v86n3.html
16. Graddol, D., (2000) dalam Huw Jarvis., Technology and Change in English Language Teaching (ELT)., The Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum, volume 7, (4), 13: (2005)
17. Hutabarat, W. (2007) Inovasi Pembelajaran Bahasa Inggris Kimia dengan menggunakan Modul, Laporan Penelitian.
18. Hutchinson, T., & Waters, A. (1987). English for Specific Purposes: A Learning-centered approach. Cambridge: Cambridge University Press.
19. Hymes, D. (1971). Competence and performance dalam Linguistic theory. dalam R. Huxley, & E. Ingram (Eds.), Language acquisition: models and methods (pp. 3-24). London: Academic
20. Jalal, F (2008), Rembuk Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depok Sawangan
21. Yang, M. (2005) Nursing Pre-professionals’ Medical Terminology Learning Strategies.,The Asian ESP Journal 1, (2)
22. Jarvis, H. (2005) Technology and Change in English Language Teaching (ELT), The Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum, volume 7, (4), 13
23. Jiajing, G (2007). Designing an ESP Course for Chinese University Students of Bussiness, Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum 3, (1), 6
24. Kasper,G., (1977) Can Pragmatic Competence be Taught? (Network 6), Honolulu: University of Hawaii, Second Language Teaching & Curriculum Center. http://nfirc.hawaii.edu/Networks/NW06/default.html
25. Kavaliaukiene, G (2007). English for Specific Purposes World, Web-based Journall 3, (1)
26. Kern, R. (1996). Computer-Mediated Communication: Using e-mail exchanges to explore personal histories in two cultures. In M. Warschauer (Ed.), Telecollaboration in foreign language learning (pp.105-119). Honolulu, HI:Second Language Teaching and Curriculum Centre.
27. Knight, T., (1996) Learning Vocabulary Through Shared Speaking Takss. The Language Teacher 20,1: 24-29
28. Lado, R., Baldwin, B. and Lobo, F. (1967) dalam Paul Nation, (2003) The role of the First language in Foreign Language learning, , Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum 5(2),1
29. Lameta-Tufuga, E., (1994) Using the Samoan Language for Academic Tasks. Victoria University of Wellington, New Zealand.
30. Laufer, B., and Shmueli, K., (1977) Memorizing New Words: Does Teachers hve Anything to do with it? RELC Journal 28, 1: 89-108.
31. Leh, A.S.C. (1999). Computer-Mediated Communication and Foreign Language Learning via Electronic Mail. Interactive Multimedia Electronic Journal of Computer-Enhanced Learning. http://imej.wfu.edu/articles/1999/2/08/index.asp
32. Lightbown, P. & Spada, N (1999) How Languages are Learned (Revised Edition), Oxford University Press
33. Mishima, T (1967) An Experiment Comparing Five Modalities of Conveying Meaning for the Teaching of Foreign Language Vocabulary., Dissertaion Abstarct 27: 3030-3031A
34. Nation, P. (2003). The Role of the First language in Foreign language Learning, Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum, 5, (2), 1
35. Nodowshan-Salmani, A.M. (2007). Are Task Type and Familarity Predicators of Performance on Tests of Language for Specific Purposes? Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum 3(1),5
36. Mc. Donough, 1984. Psychology in Language Teaching, Allen and Unwan
37. McKeown, M.G., (1993) Creating Effective Definitions for Young Word Learners. Reading Research Quarterly 28, 1: 17-31
38. Musyaridun dan Rahayu (2002), Pengembangan ESP: English for Economic and Bussiness, Jurnal Penelitian Pendidikan, Des. 2002.
39. Predicators of Performance on Tests’s Language for Specific Purposes?., The Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum 3, (1),5
40. Power, T. (2003). Communicative Language Teaching: The appeal and poverty of Communicative Language Teaching. http://www.btinternet.com/~ted.power/esl0404.html
41. Rogers, C. (1969) Freedon to learn for the *0”s. Columbus, OH: Charles Merrill.
42. Schmitt, N., (1977) Vocabulary Learning Strategies. Dalam N. Schmitt, & M. McCarthy (Eds.), Vocabulary: Description, Acquisition and Pedagogy (pp.199-227), New York: Cambridge University Press.
43. Shield, L. & Weininger, M.J. (2004). Collaboration in a Virtual World:Groupwork and the Distance Language Learner. In R. Debski & M. Levy (Eds.). World CALL: Global Perspectives on Computer-Assisted Language Learning. The Netherlands:Swets & Zeitlinger Publishers
44. Sibuea (2000) Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Meningkatkan Keterampilan Siswa SMK yang Sesuai Dengan lapangan Kerja. Medan, Laporan Hasil Penelitian.
45. Stotsky, S. 1983. Research on Reading-Writing Relationships: A Synthesis and Suggested Directions. ‘Language Arts’, 60 ,627 – 642
46. Trout, E.D., (1987) Evaluation of the Keyword mnemonic Method for acquisition and retension of Medical Terminology, University of Southerrn Illinois University at Carbondale
47. Warschauer, M. (1997). Comparing Face-to-Face and Electronic Discussion in the Second Language Classroom. CALICO Journal, 13(2&3), 7-25. http://www.gse.uci.edu/markw/comparing
48. Widdowson, H.G., (2007) Teaching Language in Communication, Oxford University Press.
49. Zangani, E and Maleki, A. (2007) A Survey on the relationship between English Language Proficiency and the Academic Achievement of Iranian EFL Students, The Asian EFL Journal, The EFL Professional’s Written Forum 9, (1), 5
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
sangat bermanfaat. terima kasih :-)
BalasHapus